Tanggapan Peserta III FGD: Masyarakat Adat Peran dan Masa Depannya

Kami orang Papua memiliki hak ulayat tapi kami tidak tau hak ulayat kami dibagi-bagi di pusat. HGU-HGU itu tiba-tiba ada di sini (Jakarta), termasuk penandatangan Freeport. Itu hak ulayat orang Papua ditandatangani oleh orang Jawa.

Kami semua orang Papua bingung dan ini menjadi masalah buat kami. Tetapi ketika undang-undang nomor 21 muncul, itu semua berubah. Seperti yang di Sorong, sumur-sumur minyak yang ada di Sorong, Papua Barat, sekarang diklaim oleh masyarakat adat setelah undang-undang ini keluar.

Banyak hal yang terjadi di sana. Kita yang tidak tau apa-apa, diklaim tanahnya oleh orang Jakarta. Hak Guna Usaha itu muncul di hutan-hutan di Papua. Ini yang harus diubah.

Artinya, kalau hak ulayat ingin dikembalikan kepada adat, harus jelas. Karena di Papua itu ada 7 suku besar yang punya hak ulayat masing-masing. Kita saja orang Papua tidak berani melampaui batas yang ditetapkan oleh adat.

Kalau bisa undang-undang ini dibuat memperhatikan kearifan lokal. Jangan kita terbitkan saja, tau-tau di daerah bertabrakan. Bila ada masalah di masyarakat adat, sebelum di bawa kepolisian harus melalui adat terlebih dahulu. Adat yang bisa meredam masyarakatnya.

Saya berharap pertemuan seperti ini soal masyarakat adat harus diakomodir.

Harun, Perwakilan Masyarakat Adat Biak, Papua

* Focus Group Discussion(FGD) bertajuk: “Masyarakat Adat Peran dan Masa Depannya“, Rabu, 27 Februari 2019 bertempat di Wisma Daria, Lt. 2 Jl. Iskandarsyah Raya No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta SelatanĀ